Cari Blog Ini

Senin, 08 Februari 2010

Cicak Ngadu,Kuasa Hukum Tanya Prosedur

Perlakuan khusus yang diberikan Direktur Penuntutan KPK Feri Wibisono kepada mantan Jamintel Kejaksaan Agung Wisnu Subroto dikecam. Feri diduga melanggar kode etik pegawai KPK. Feri pun dilaporkan ke pengawas internal KPK.Feri dilaporkan oleh sekelompok LSM mengatasnamakan Gerakan Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) ke pengawas internal KPK.
Dalam laporannya, CICAK mensinyalir Feri melakukan pelanggaran kode etik pegawai KPK. "Setelah kami pelajari Feri melanggar kode etik pegawai KPK yakni Pasal 7 ayat 2 huruf B, C, D, dan F," ujar peneliti ICW Febri Diansyah dalam jumpa pers usai melaporkan Feri di Gedung KPK, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Senin (8/2/10). Febri menambahkan, laporan ini sebagai peringatan keras kepada KPK agar mengawasi secara ketat pegawainya yang melanggar kode etik.
Termasuk juga memberi sanksi yang tegas bagi pegawainya yang melanggar.KPK yang selama ini mendapat kepercayaan masyarakat yang besar saat KPK diterpa masalah kriminalisasi, saatnya membuktikan untuk bisa menindak pegawainya yang melanggar.
"Dukungan besar yang sudah diberikan ke KPK oleh masyarakat harus dibayar KPK dengan kepercayaan menindak tegas dan tidak mentoleransi pelanggaran kode etik Ferry," tutup Jamil Mubarok dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) CICAK yang melaporkan Feri terdiri dari ICW, PSHK, KRHN, TII, MTI, MaPPI FHUI, dan PuKAT UGM.
Sementara tim kuasa hukum George Junus Aditjondro mempertanyakan prosedur penetapan tersangka oleh kepolisian kepada kliennya. George tidak menerima surat pemanggilan pemeriksaan."Tiba-tiba di running text televisi muncul 'George Junus Aditjondro tersangka'," kata salah satu kuasa hukum George, Panca Nainggolan, dalam jumpa pers, di Doekoen Coffee, Jl Raya Pasar Minggu, Senin (8/2/10).
Menurutnya, baik George maupun tim kuasa hukumnya sampai saat ini belum menerima surat pemanggilan tersebut. Keluarga George di Yogyakarta juga belum menerimanya. Namun, kepolisian sudah terlebih dahulu berbicara ke media."Katanya surat dikirim ke Yogya, tapi tidak ada," ujar Panca yang mengatakan tidak mau memenuhi surat pemanggilan kedua, jika surat terdahulu tak sampai ke pihaknya.
"Pemanggilan kedua itu harus ada prosedurnya, yang pertama sampai," tambahnya.Sementara aktivis Petisi 28, Haris Rusly, meminta polisi tidak menjadi alat kekuasaan. Ia justru meminta kepolisian mengusut nama-nama yang ditulis George terindikasi menerima aliran dana Bank Century. Haris menilai Ramadhan Pohan bertindak berlebihan dengan melaporkan George."Ini watak lebay-nya Ramadhan Pohan.
Sama dengan bosnya," kata Haris. Menurut Haris, George hanya menepis Ramadhan Pohan dengan buku karena politisi Partai Demokrat itu memulai memprovokasi. "Ia (Ramadhan) dan Goerge pernah berteman belasan tahun. Ramadhan Pohan saya yakin tahu George memang temperamen," ujarnya.dtk

PERJUANGAN POLRI TAK PERNAH LEKANG

Pekik heroik “Arek-arek Surabaya” kala mempertahankan sejengkal tanah dan menolak kehadiran penjajah, hingga kini masih melekat erat. Kala itu, tak hanya rakyat biasa yang ikut berjuang menumpas penjajah. Tetapi, ribuan TNI dan Polri (Polisi Republik Indonesia) pun
berbaur ikut merebut kemerdekaan...
Jika di antara pembaca JAGRATARA ada yang berusia minimal 50 tahun, pasti ingatannya akan perjuangan merebut Bumi Nusantara dari tangan penjajah tak bisa begitu saja hilang. Bahkan, durasi rekaman dalam file romantika kehidupannya tak kan mudah terhapuskan. Masa-masa penjajahan, memang terasa getir. Hidup dan mati seolah berada di ujung tanduk.
Jerit menyayat jutaan rakyat yang kelaparan, seolah sulit digambarkan dengan rangkaian kata. Ironisnya, hal itu tak hanya dialami oleh segelintir rakyat di suatu tempat saja. Tetapi, jeritan itu juga dialami dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali! Kabar kematian akibat ulah kejam penjajah, nyaris saban hari terngiang di telinga. Tentu saja itu belum termasuk mereka yang mati kelaparan dan disiksa dalam kerja rodi.
Hal itu seperti yang diungkapkan Soekarni (78 tahun) dan Mat Bakri (75 tahun). Keduanya adalah mantan pejuang yang kala itu ikut berperan aktif menumpas antek-antek Belanda. Soekarni yang kini hidup tenteram bersama istri tercintanya, Amirah (72), di pelosok Dusun Maron, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, sekitar 7 km selatan kota Kabupaten Tulungagung menceritakan masa-masa penjajahan Jepang.
Kala itu, ia bersama seorang teman akrabnya yang kini sudah almarhum, Djliteng Soenjoto (terakhir mantan Bupati Pasuruan, red), bersama warga masyarakat yang lain ikut bergerilya mencegat Jepang yang tengah berpatroli di jalan-jalan desa. Bersama sekitar 40-an orang, Soekarni dan Djliteng seolah menjadi panutan yang lain.
“Itu karena saya dan Djliteng dianggap kendel (Bhs Jawa = berani, red) dan selalu berada di depan,” ungkap Soekarni yang memiliki 22 cucu dari ke 7 anaknya. Pada masa itu, masih menurut Soekarni, antara tentara, polisi dan rakyat biasa, seolah tak ada perbedaan. Lantaran merasa senasib sepenanggungan akibat ulah penjajah, sehingga sejuta asa yang mengkristal dalam dada dimuntahkan bersama-sama.
Perjuangan Soekarni, kala itu dilakukannya di daerah Blitar Selatan dan sekitarnya. Meski kala itu kedua orangtuanya berat jika Soekarni masuk polisi, namun karena tekad bulatnya, akhirnya kedua orangtuanya tak lagi mampu mencegahnya. Setiap kali akan berangkat ke medan laga, Soekarni selalu terlebih dulu minta restu.
“Atine wong tuwa sakjane ya was-was,” ujar Soekarni dengan Bahasa Jawa yang medhok, yang artinya,”Hatinya orangtua sebenarnya ya was-was”. Begitulah, meski was-was toh akhirnya mereka melepas juga kepergian Soekarni dengan iringan doa dan tetesan air mata.
Singkat cerita, setelah kaum penjajah hengkang dari Indonesia, Soekarni pun mengambil sikap yang cukup mengejutkan, yaitu keluar dari kepolisian dan berkat jasa temannya ia memilih menjadi guru. Keputusan yang diambilnya tersebut tak lepas dari permintaan kedua orangtuanya. Sejak kemerdekaan diraih bangsa Indonesia, pelahan namun pasti, karir Soekarni sebagai guru pun cukup membanggakan. Bahkan, pada akhirnya ia bisa menduduki jabatan sebagai Kepala SD di daerah Tulungagung Selatan.
Soekarni mengaku, di masa-masa tuanya, ia cukup lega melihat ke 7 anak-anaknya telah mentas (berhasil, red) dan bahkan telah memberinya 22 cucu. Jika di antara anak dan cucunya kini ada yang menjadi anggota Polisi, rasanya juga tak aneh. Bukankah “kacang nurun lanjaran?” Peribahasa Jawa yang kurang lebih memiliki arti : Apa yang dilakukan seorang ayah, si anak pasti akan mencontohnya…
Ia kurang sependapat jika ada sementara pihak yang mengatakan, pada masa penjajahan itu, hanya tentara dan rakyat biasa saja yang berjuang dan melawan serta mengusir penjajah dari Bumi Nusantara. Polisi Republik Indonesia (Polri) pun, pada masa itu juga ikut berperan aktif dalam menumpas penjajah dari muka bumi Nusantara.

LUMURAN DARAH DI JEMBATAN
Hal senada juga dikatakan oleh Mat Bakri, yang kala seputar tahun 1940-1941, aktif berjuang bersama arek-arek Surabaya yang lain. Pada masa itu, dengan membawa sebuah pistol hasil rampasan dari antek Belanda, ia bersama pejuang yang lain ikut menggempur lawan di sepuitar Jembatan Merah, Surabaya.
Dengan mimik serius digambarkan, kala terjadi peperangan di Jembatan Merah Surabaya, sudah tak terhitung pejuang Indonesia yang gugur di medan laga. Tak hanya rakyat biasa saja yang menjadi korban demi memperjuangkan nasibnya. Tetapi, dari barisan tentara dan polisi pun juga ada.
“Wah, kalau ditanya soal berapa yang meninggal saya ndak tahu Mas,” ujar Mat Bakri. Tetapi yang pasti, dari para pejuang, baik rakyat biasa, tentara dan polisi, banyak yang gugur mempertahankan Tanah Air Indonesia. Peperangan yang terjadi di Jembatan Merah, terjadi siang malam, tanpa mengenal lelah. Begitu pejuang Indonesia berhasil mendesak mundur para penjajah yang bercokol di seputar Jembatan Merah, rakyat terus mendesak para penjajah di seputaran Jalan Pahlawan kini. Karena banyaknya pejuang yang gugur dan darah mereka membasahi jembatan lokasi perang, akhirnya lokasi tersebut dinamakan Jembatan Merah.
Sebuah gedung bertingkat di Jalan Pahlwan, kala itu tahun 1940-an memang dijadikan markas penjajah. Setelah melalui peperangan yang sengit, pada akhirnya bendera penjajah yang berkibar di gedung itu pun berhasil dirobek, diiturunkan dan dibakar. Hampir bersamaan waktunya, di Hotel Majapahit kini, arek-arek Surabaya pun ternyata juga telah berhasil menurunkan bendera penjajah.
“Teman-teman saya sesama polisi juga banyak yang gugur,” cerita Mat Bakri dengan intonasi suara yang agak pelo lantaran usia yang kian uzur. Tak jarang, katanya lebih lanjut, jika secara tak sengaja bertemu dengan teman polisi sesama pejuang, mereka suka lupa menyebut namanya. Namun, tak lama berselang mereka akan terkekeh kala mengingat sebutan namanya di medan laga. Pernah reuni? Pertanyaan ini hanya dijawabnya dengan senyum kecut. Pasalnya, kini biaya hidup yang dirasakan semakin sulit, memaksa mereka tak lagi berpikir untuk mengadakan sekadar reuni kangen-kangenan.

MONUMEN POLRI
Tepat 1 Juli 2005 lalu, jajaran Kepolisian RI telah berusia 59 tahun. Selama kurun waktu lebih dari setengah abad itu, pelbagai cibiran dan pandang mata sinis sering ditampakkan terhadap sosok polisi, seiring kemajuan jaman. Namun, bukan polisi profesional jika tak mampu mengambil sikap bijak kala menyikapi hal itu. Semua diterimanya dengan lapang dada dan senyum bijak.
Khususnya di Surabaya, untuk mengenang perjuangan Polri di masa-masa penjajahan, telah dibangun sebuah Monumen Perjuangan Polri. Monumen yang terletak tepat di pinggir jalan seputaran perempatan Jalan Raya Darmo Surabaya itu, seolah mengingatkan kita semua. Bahwa, perjuangan Polri dalam mempertahankan NKRI, tak hanya sekarang saja. Tetapi, jauh sebelum kemerdekaan berhasil digenggam rakyat Indonesia, perjuangan mereka tak perlu diragukan lagi.
“Setiap memperingati HUT Bhayangkara, monumen itu dibersihkan dan dicat ulang,” ujar seorang pamen di Polda Jatim. Meski ia mengaku tak ikut berjuang kala merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, namun ia merasa bangga karena almarhum ayahnya kala itu ikut aktif berjuang di garis depan. Karenanya, untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, kini ia menjadi seorang anggota Polisi.
Cerita seputar almarhum ayahnya kala di masa perjuangan, hanya ia dengar dari sang ibunda. Menurut ibundanya, kala itu ayahnya aktif berjuang bersama anggota polisi yang lain di Hotel Majapahit sekarang (kini Jalan Tunjungan, red) Surabaya. Kala itu, masih menurut cerita ibundanya, Hotel Majapahit dijadikan markas penjajah. Seingat ibundanya yang kini berusia 74 tahun, nama tempat itu adalah Yamato.
Di tempat itu pulalah bendera Jepang berhasil diturunkan, dirobek dan dibakar oleh arek-arek Surabaya. Api yang berkobar disertai yel-yel kemenangan, menggambarkan semangat juang yang tak pernah padam. Dan setiap memperingati Hari Kemerdekaan RI, di lokasi-lokasi sarat sejarah, terutama di Jalan Pahlawan dan di Hotel Majaphit, selalu digelar episode perjuangan arek-arek Surabaya.
Melibatkan lebih dari 1000 orang, ada yang dari seniman, tukang becak, warga biasa dan lain-lain, adegan itu cukup mewakili betapa arek-arek Surabaya tak kenal kata takut dan menyerah. Bisa jadi, prinsip hidup mereka adalah : Sadumuk bathuk sanyari bumi sun belani pati. Sesanti Jawa itu mengandung makna : “Harga diri dan sejengkal bumi akan dibela sampai mati”.

Ngemplak Tradisional,Jeritan Menyayat Dari Para PKL

Tak bisa dipungkiri, seiring kemajuan jaman yang kian canggih, menuntut masyarakat untuk selalu berinovasi dan kreatif. Meski terkadang untuk mewujudkan hal itu – terpaksa – harus ‘mengorbankan’ kawula alit (sebutan yang lazim dialamatkan kepada masyarakat kalangan bawah, Red). Tapi, benarkah mereka dikorbankan demi kemajuan pembangunan?
Masyarakat ‘kecil’ menjadi korban kemajuan suatu pembangunan, seolah bagai nada-nada simphoni yang selalu terdengar mengasyikkan. Tetapi, bisa jadi keasyikan itu hanya bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang berkompeten. Sementara itu, di pihak lain, alunan nada simphoni itu terasa sumbang dan akan terus sumbang, sampai kapan pun!
Seperti halnya nasib para pedagang kaki lima (PKL) di Tulungagung – khususnya yang mangkal di alun-alun lalu dipindahkan ke Ngemplak Tradisional Pujasera. Sebelum dipindahkan, mereka memang berjualan di seputaran alun-alun. Awalnya jumlah mereka memang hanya beberapa orang. Namun seiring merangkaknya sang waktu, dan berdagang di alun-alun semakin menjanjikan, maka jumlah pedagang pun semakin membludak.
Tak kurang 200-an pedagang, setiap hari memadati kawasan alun-alun dan sekitarnya. Bahkan, dari hasil pengamatan JAGRATARA, pedagang makin meluber. Jumlah itu akan semakin menggila jika Sabtu malam Minggu. Demikian juga masyarakat yang ingin makan, minum atau bahkan sekadar jalan-jalan. Pedagang pun makin beragam. Jika awalnya hanya pedagang makanan minuman dan mainan anak-anak, kala itu semakin variatif. Misalnya, sarung bantal guling, ikat pinggang, kacamata, atau bahkan obat-obatan sejenis racun tikus atau serangga lainnya.
Makin beragamnya jenis dagangan, makin membludaknya para pedagang, tentu membawa konsekuensi tersendiri. Setidaknya, kemacetan jalan di seputaran alun-alun tak lagi terelakkan. Dampak yang lain, keluarga yang ingin menikmati pemandangan pertamanan di sekitar alun-alun pun tak senyaman kala belum ada pedagang.
Alun-alun Tulungagung yang terus bersolek bak remaja yang merangkak dewasa, pertamanannya pun semakin dipercantik. Rimbunnya pepohonan menambah keasrian alun-alun yang sekaligus berfungsi sebagai paru-paru kota. Taman Kusuma Wicitra, demikian nama yang diberikan pada alun-alun Tulungagung itu.
Seperti halnya daerah lain, alun-alun selain berfungsi sebagai paru-paru kota, juga sekaligus untuk rekreasi meski hanya sekadar jalan santai. Bahkan, ada beberapa daerah yang masih memanfaatkan alun-alun sebagai lokasi untuk upacara. Karena beragam fungsi itulah, tak heran jika Pemkab setempat berupaya untuk memelihara dan mempercantik. Dana ratusan juta seolah sah-sah saja digunakan untuk memake-up alun-alun. Demikian juga yang dilakukan Pemkab Tulungagung.
Selain dilengkapi dengan tugu Pancasila yang menjulang tinggi, tebaran lampu tamannya pun semakin menambah keasrian. Untuk melengkapi keasriannya, Bupati Tulungagung, Ir. Heru Tjahjono, MM memberinya sangkar burung berukuran lumayan besar dengan aneka jenis burung. Kicau burung yang saling bersahutan, seolah ikut menikmati keasrian Taman Kusuma Wicitra.

GULUNG TIKAR
Sang waktu terus bergulir, sementara itu, para pedagang yang mangkal di alun-alun pun semakin bertambah. Bahkan, sumber JAGRATARA di Satpol PP dan kalangan dewan menilai, jumlah PKL semakin tak terkendali. Harus diakui memang, berdagang di alun-alun lebih menjanjikan. Keuntungan yang mereka raup bisa mencapai ratusan ribu dalam semalam.
“Paling sepi saya dapat Rp 50 ribu dan jam sebelas sudah tutup,” ujar Siti, pedagang nasi pecel. Keuntungan bersih 50 ribu, tentu jumlah yang lumayan besar untuk pola kehidupan di Tulungagung. Namun sejak PKL dipindahkan ke Ngemplak Tradisional Pujasera, arah barat kota, justru hal itu bagai mencekik leher Siti. Hal senada juga dibenarkan oleh Emma Satriya.
Emma mengatakan, awalnya ia memang mencoba mengikuti aturan main Pemkab meski hal itu dilakukannya dengan terpaksa. Tetapi realitanya, di tempatnya yang baru itu, nyaris ia tak mendapatkan in come. Bahkan setiap hari ia harus merugi dan dengan terpaksa menarik uang tabungannya yang kian menipis.
Tak bisa dipungkiri memang, sejak para PKL dipindahkan ke Ngemplak Tradisional Pujasera (siang digunakan terminal Angkot, Red), jerit menyayat hati mereka seolah saling bersahutan. Pembeli yang menurun drastis, otomatis memangkas keuntungan mereka. Sebagian besar bahkan terpaksa mengambil tabungan uangnya untuk bertahap agar usahanya tak sampai tutup. Tetapi, sampai kapan hal itu akan bertahan?
“Akhirnya saya tutup Mas…” ujar Siti yang dibenarkan Emma yang pada akhirnya juga tak lagi berjualan. Siti, Emma dan sebagian besar PKL memang banyak yang menutup usahanya. Sebelum memutuskan menutup usahanya, keduanya memang pernah mencari alternatif dengan berjualan di tempat lain. Tetapi karena tak juga menjanjikan, pelahan namun pasti modal mereka pun terkikis habis hingga akhirnya gulung tikar.
Sementara itu, Yanto (21), pedagang wedang ronde, secara terpisah menuturkan, sejak dipindah di Ngemplak, pendapatannya menurun sangat drastis. Jika awalnya di alun-alun dalam semalam ia bisa memperoleh sedikitnya Rp 75 ribu, kini untuk mendapatkan Rp 10 ribu saja sulitnya setengah mati. Ia merasa, sebagai orang “kecil” benar-benar tak berdaya ketika dihadapkan dalam kondisi simalakama. Bayangkan. Jika tidak berjualan, ia harus kerja apa, sementara ijazah sekolahnya pun tak bisa dibanggakan. Kalau pun toh harus berjualan, sampai kapan ia bertahan dalam kondisi keterpurukan?
“Tapi yang pasti, nggak mungkin saya kuat berjualan kalau kondisinya seperti ini,” tuturnya pelan, seolah menyiratkan betapa beratnya kehidupan yang harus dititinya. Jika kelak ia harus menutup usahanya, alternatif yang dipilihnya adalah bekerja sebagai kuli bangunan. Semua itu terpaksa dijalaninya mengingat pendidikannya yang tak pernah bisa dibanggakan.

UPACARA
Sekadar diketahui, Ngemplak Tradisional Pujasera, sejak awal pembangunannya memang diperuntukkan terminal Angkot. Pembangunan terminal yang menempati lahan seluas 2 hektar itu dilakukan pada 1998 silam dan pengerjaannya dilakukan oleh CV Surontani. Lokasinya yang di barat kota, memang strategis jika digunakan untuk terminal Angkot. Bersebelahan dengan terminal, telah pula dibangun pasar buah, sehingga semakin melengkapi kebutuhan masyarakat.
Secara terpisah, Ketua GAPEKNAS (Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional Indonesia), Ramelan, diminta tanggapannya soal gejolak PKL di Ngemplak Tradisional Pujasera menuturkan, ia kurang sependapat jika para PKL dipindahkan ke sana. Ia bisa memaklumi jika banyak PKL yang pada akhirnya gulung tikar. Apa pasal?
Menurut Ramelan, yang juga Dirut Surontani dan seorang tokoh yang cukup disegani di Tulungagung ini, ada beberapa alasan mendasar yang pada akhirnya membuat para PKL menutup usahanya. Selain lokasinya kurang nyaman untuk pembeli, hal itu juga dirasakan oleh pedagangnya sendiri. Meski kabarnya Pemkab menyediakan tenda, namun jika lahan antara satu pedagang dengan pedagang yang lain saling berhimpitan, jalan pemisah terlampau sempit, jelas hal itu tak membuat rasa nyaman siapa pun.
“Orang jalan berpapasan saja sulit, bagaimana bisa nyaman,…” tutur Ramelan sambil menambahkan, jika memang di Ngemplak kehidupan PKL merasa kembang kempis dan sebagian besar tutup, ia punya uneg-uneg atau alternatif - yang barangkali bisa diterima oleh Bupati Ir Heru Tjahjono, MM. Seyogyanya, kata Ramelan, para PKL diberi alternatif pindah di Jalan Achmad Yani Barat, Jalan DR Sutomo, Jalan Pangeran Antasari (Stasiun KA ke utara – OTB), Jalan RSU Lama ke barat atau di Pasar Hewan Beji.
Pemikiran Ramelan tersebut bisa jadi mengacu pada keberadaan Pusat Jajan Kya Kya di Surabaya yang menempati sepanjang Jalan Kembang Jepun. Sama dengan di Kya Kya Surabaya, para PKL di Tulungagung pun diperbolehkan membuka usahanya setelah menunggu toko tutup, yaitu sekitar jam 20.30-an hingga pagi.
“Saya ndak bisa memastikan, PKL di Ngemplak itu bisa bertahan sampai kapan,” ujar bos Surontani yang tengah mempersiapkan pembangunan kawasan perumahan ini. Ditanya soal alun-alun yang pada awalnya dimanfaatkan untuk upacara, Ramelan mengatakan, ia lebih setuju dikembalikan fungsi awalnya. Sebab menurutnya, jika alun-alun digunakan untuk upacara, hal itu sekaligus akan menjaga kewibawaan bupati dan anggota dewan. Lokasi alun-alun yang lurus dan tepat di depan pendapa kabupaten, dan juga di depan kantor DPRD, memang semakin menambah kewibawaan aparat pemerintahan daerah.
Tetapi, begitulah kenyataannya. Lantaran dinilai para PKL kurang bisa mengatur kebersihan dengan membuang sisa kotoran dan air comberan di saluran air di seputaran alun-alun, tak urung hal itu menebarkan bau yang kurang sedap. Sehingga, ketika masyarakat ingin memanfaatkan alun-alun untuk jalan sehat pagi, tak lagi merasa nyaman. Tebaran bau menyengat, yang pasti sangat mengganggu. Bahkan, pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan dari tebaran bau tak sedap itu akan mengundang jenis penyakit tertentu.
Meski hingga berita ini naik cetak, aksi unjuk rasa PKL di kantor Pemkab atau gedung dewan setempat sering mewarnai kehidupan di Tulungagung, namun toh Pemkab tak jua merubah keputusannya. Memang, sejak PKL dipindahkan, alun-alun Tulungagung seolah kembali sumringah, kembali bersolek dengan mengganti dan mempercantik pagar dan pembenahan lain. Tetapi, di sisi yang lain, jika malam mulai merayap, PSK liar pun ternyata memanfaatkan alun-alun untuk kencan sesaat. Sementara itu, jerit menyayat para PKL di Ngemplak pun seolah bersahutan. Sampai kapan hal itu akan terus berlangsung? Allahualam…

“TEMPAT HIBURAN HARUS BERSIH…”

Selama 3 malam berturut-turut, Direktorat Reserse Narkoba Polda jatim menggelar operasi SIMPATIK. Sasarannya, tempat-tempat hiburan malam dengan target : Harus bersih dari peredaran gelap narkoba!

Suasana kantor di Direktorat Narkoba Polda Jatim terlihat lain. Jika pada jam-jam itu sebagian besar masyarakat tengah ter-lelap tidur dibuai mimpi, namun lain halnya dengan anggota reserse narkoba Polda Jatim. Justru di tengah malam itu, nyaris semua anggota berkum-pul. Bahkan, sejak sore satu persatu mereka sudah mulai berdatangan.
Yah, dini hari itu, atau tepatnya pukul 01.00., Direktur Narkoba Polda Jatim, AKBP. Drs. Ronny F Sompie, SH.MH., meminta kepada seluruh anggota untuk melak-sanakan ‘apel’. Perintah itu juga tertulis jelas di white board. Dini hari itu, reskoba Polda Jatim memang akan melancarkan operasi yang diberi nama : Operasi Simpatik.
“Kita akan melaku-kan operasi narkoba di tempat-tempat hiburan. Saya minta, operasi ini berjalan sesuai namanya, yaitu Operasi Simpatik,” ujar Ronny, setelah anggota gabungan dari reskoba, intel dan Samampta berkumpul. Dalam operasi itu, anggota yang dilibatkan sebanyak 130 personil. Rinciannya, 60 personil dari Samampta, 50 personil reskoba (10 di antaranya Polwan) dan dari Intel 20 personil.
Bisa jadi, mengingat sasaran operasi kali itu sebuah discotheque besar dan beken, tampaknya Ronny tak mau kecolong-an. Karenanya, anggota yang dilibatkan pun terhitung besar. Operasi itu merupakan yang ke tiga setelah dua malam sebelumnya reskoba melancarkan aksi serupa.

SANTUN
Sekali lagi, lanjut Ronny dalam apel dini hari itu, sesuai namanya Operasi Simpatik, maka ia tak mau ada keributan, mengganggu pengunjung dan harus bisa menarik simpatik. Mengingat tak ingin ada yang terganggu dengan adanya operasi yang digelar, maka Ronny pun wanti-wanti kepada seluruh anggota agar memperlakukan pengun-jung dan karyawan disko-tek dengan sikap santun.
“Sebelum memeriksa satu persatu, tunjukkan tangan rekan-rekan ke atas. Yang diperiksa harus tahu benar, bahwa tangan rekan-rekan dalam keadaan kosongan,” ujar Ronny.
Ditambahkan, jangan sampai ada kesan polisi yang ‘sengaja’ menaruh narkoba di saku baju, celana atau tempat-tempat lain. Untuk meng-hindari komplain, saat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai, loker atau tempat DJ misalnya, harus ada seorang karyawan yang mendampingi petugas pemeriksa.
Barangkali, karena anggota Samampta baru kali itu mengikuti operasi narkoba, maka Ronny pun berpesan,”Pemeriksaan harus sampai ke kaos kaki, sepatu, ikat pinggang dan celana,” tuturnya. Lebih jauh ditambahkan, sebelum memeriksa jangan lupa mengatakan,”Mohon maaf, kami dari Polda sedang melakukan operasi”. Ikat pinggang, menurut Ronny, sering digunakan untuk menyimpan narkoba. Sebab, ada pula ikat pinggang yang agak tebal, di dalamnya terdapat resluting. Di balik resluting itulah, kata Ronny, biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang itu.
Sedang kepada anggota Samampta, Ronny lebih menekankan untuk membantu mengatur lalin di sekitar lokasi. Sebab, tidak menutup kemungkinan, saat operasi digelar jalanan di sekitar akan macet. Apa pasal? Karena sesuai rencana, operasi kali itu dilakukan setelah diskotek tutup atau tepatnya pukul 03.00.
“Jadi, kita tunggu di luar dulu sampai diskoteknya tutup. Baru setelah itu, pengunjung yang keluar diperiksa satu persatu,” terang Ronny. Jika yang diperiksa wanita, anggota hanya menyarankan agar yang bersangkutan menemui Polwan.
hindari komplain, saat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai, loker atau tempat DJ misalnya, harus ada seorang karyawan yang mendampingi petugas pemeriksa.
Barangkali, karena anggota Samapta baru kali itu mengikuti operasi narkoba, maka Ronny pun berpesan,”Pemeriksaan harus sampai ke kaos kaki, sepatu, ikat pinggang dan celana,” tuturnya.
Lebih jauh Ronny menam-bahkan, sebelum memerik-sa jangan lupa mengatakan, ”Mohon maaf, kami dari Polda sedang melakukan operasi”. Ikat pinggang, menurut Ronny, sering digunakan untuk menyimpan narkoba. Sebab, ada pula ikat pinggang yang agak tebal, di dalamnya terdapat resluting. Di balik resluting, kata Ronny, biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang itu.
Sedang kepada anggota Samapta, Ronny lebih menekan-kan untuk membantu mengatur lalin di sekitar lokasi. Sebab, tidak menutup kemungkinan, saat operasi digelar jalanan di sekitar akan macet. Apa pasal? Karena sesuai rencana, operasi kali itu dilakukan setelah diskotek tutup atau tepatnya pukul 03.00.
“Jadi, kita tunggu di luar dulu sampai diskoteknya tutup. Baru setelah itu, pengunjung yang keluar diperiksa satu persatu,” terang Ronny. Jika yang diperiksa wanita, anggota hanya menyarankan agar yang bersangkutan menemui Polwan.
Sekitar pukul 02.35., operasi yang dipimpin langsung oleh Direktur Narkoba, AKBP Drs. Ronny F Sompie, SH.MH., itu pun meluncur meinggalkan Mapolda Jatim. Sasaran operasi dini hari itu adalah Kantor Discotheqe, tempat hiburan yang terbilang lumayan besar dan beken.

DIBUNGKUS TISUE
Sesuai skenario, semua anggota tak ada yang masuk begitu rombongan sampai di lokasi. Namun, suasana menjelang petugas datang, tampaknya sudah ada yang mengendus. Ini bisa dilihat dari, seorang petugas keamanan di pintu masuk menuju lokasi diskotek, nampak menghubungi seseorang lewat HT-nya. Bahkan tak hanya itu. Pengunjung diskotek pun tak seramai seperti hari-hari biasanya. Barangkali, dini hari itu tak lebih dari 50 orang pengunjung.
Meski pengunjung tak seramai biasanya, namun akhirnya petugas pun berhasil menemukan narkoba jenis pil berwarna krem. Selain dua pengunjung yang diamankan, juga terdapat lima karyawati yang dini hari itu ikut diseret ke Mapolda.
Mereka dibawa petugas untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Itu lantaran, ketika diperiksa, petugas berhasil menemukan barang laknat itu dibungkus tisue dan dibuang ke toilet.
Upaya itu berhasil digagal-kan petugas yang telah piawai menangani operasi narkoba. Sejumlah karyawati pun tak bisa mengelak. Karena itulah, mereka hanya pasrah saja saat petugas membawa mereka ke Mapolda. Sambil menahan rasa kantuk, mereka pun melangkahkan kaki naik ke mobil petugas.
“Sekitar 10 pil yang berhasil disita,” ujar Ronny pada JAGRATARA yang ikut operasi dini hari itu. Sesuai perintah Kapolri, kata Ronny, tempat-tempat hiburan harus bersih dari peredaran gelap narkoba. Siapa pun yang tertangkap dan terbukti membawa narkoba, politi pasti akan melibasnya.
Ronny menjelaskan, operasi pembersihan ini akan terus dilakukan dengan jadual dan sasaran yang beragam. Tetapi yang jelas, tujuannya untuk memberantas peredaran gelap narkoba, utama-nya di wilayah jajaran Polda Jatim.
Enam karyawan Kantor Discotheque yang dibawa ke Mapolda dini hari itu adalah : Mudrikah (22) Jl Simorejo, Enita Rahmawati (28) Jl Manukan Mukti, Dwi Sunarti (23) Jl Klimbungan, Sri Karyawati (33), Manukan Lor Tandes, Mujiati (28) Kupang gunung dan Verial alias Ve (27) Petemon, semuanya warga Surabaya. Sedang dua orang pengunjung yang ikut diamankan, Alexander Joko Yuwono (23) Ploso Timur dan Bambang widiatmoko (32) barata Jaya, keduanya Surabaya.
Kedua pengunjung ini dibawa ke Mapolda karena saat petugas datang, satu di antaranya akan melarikan diri dengan masuk mobil. Dan setelah digeledah, ternyata tubuhnya terasa dingin mirip seperti habis “on”. Sedang yang satunya, saat digeledah, selalu membantah dan gelagatnya mencurigakan.
“Operasi sengaja digelar usai diskotek tutup. Karena kita tak mau dituduh mengganggu masyarakat yang sedang menikmati hiburan. Jadi, kita biarkan dulu mereka menikmati keasyikkannya dan setelah buburan baru kita periksa,” tutur Ronny sambil menambahkan, pada dua malam sebelumnya, Kamis – Jumat (14-15/7) operasi dilancarkan dengan sasaran Lucky Star dan Station. Dari Lucky Star, petugas mencurigai lima pengunjung dan akhirnya dibawa ke Mapolda.

BURU BANDAR SS
Lebih jauh Ronny menjelaskan, saat ini Direskoba Polda Jatim juga tengah memburu seorang tersangka yang ditengarai sebagai pemasok 1 ons sabu-sabu. Barang laknat itu berhasil ditemukan petugas saat menggerebeg pesta SS di sebuah kamar hotel yang terletak di pertigaan antara Jalan Pemuda dan Jalan yos sudarso surabaya.
“Sampai di mana pun akan terus kita kejar,” ujar Ronny, serius. Berdasarkan HP yang disita dari tiga orang tersangka yang kini ditahan di Mapolda, petugas reskoba terus mengejarnya ke Jakarta. Sebab, tersangka memang tinggal di sana. Ketiga tersangka tersebut adalah, Hong Kok Hong (44) warga Kapasari RT 03 RW 08 Surabaya, Ryan Kenriawan (26) warga Kapas Krampung dan Hodiman Kurniawan (28) warga Jl. Kemudi.
Setelah Ronny meneliti HP milik tiga tersangka, barulah diketahui, bahwa selama ini bandar tersebut memasok SS lewat SMS. Saat digerebeg, petugas berhasil menemukan bukti tersangka Hong Kok Hong membawa 100,07 gram atau 1 ons. Begitu petugas masuk ke kamar hotel nomor 2319 yang digunakan pesta SS, ketiganya tak bisa mengelak dan langsung diseret ke Mapolda.
Di hadapan penyidik, jelas Ronny, ketiganya mengakui, selama ini mendapat pasokan SS dari seseorang yang tinggal di Jakarta. Barang tersebut, menurut Ronny, rencananya akan dijual dengan harga Rp 650 ribu/gram. Ditambahkan, ketiga tersangka akan dijerat UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika, dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Propam Polri Belum Mampu memenuhi Hak Pelapor

Dalam laporan hasil audit investigasi kasus pencurian yang ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal atau Direskrim Kepolisian Daerah Banten sesuai Lp/52/K/VII/2007/siaga tanggal 12 Juli 2009, Kepala Devisi Profesi Pengamanan dalam Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau dikenal dengan sebutan Kadivpropam Mabes Polri tidak mampu memenuhi hak pelapor.
Padahal dalam laporan yang dilayangkan melalui surat kuasa hukum tersangka MIKO Suharianto atau Hartono Tanuwijaja SH & Partners no : 4.11/HTP/ 2009 tanggal 15 April 2009, tentang ketidak profesionalan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Polda Banten dalam proses penaanganan kasus pencurian, sesuai laporan Polisi : LP/52/K/VII/2007?siaga tanggal 12 Juli 2007 dengan pelapor Low Kum Luen alias Raymond low, warga Negara Singapura dengan tersangka Dohar ojak Hutabarat.
Karena adannya perbedan tanda tangan pelapor Low Kum Luen. Legalitas keberadaan dan kegiatan pelapor tidak jelas. SPDP belum pernah diterbitkan, Miko Suharianto 3 kali diperiksa sebagai saksi, lalu diperiksa sebagai tersangka dan langsung ditahn serta belum pernh di BAP (Berita Acara Perkara) konfrontasi. Tidak da penyitaan terhadap brang bukti yang dicuri. Tersangka Dohar Ojak Hutabarat belum pernah ditahan. Memberatkan tersangka Miko Suharianto tanpa mempertimbangkan dokumen lain yang diberikan kepada penyidik. Tidak menanggapi surat kuasa hukun tersanngka tentang pelapor low Kum Luen tidak menuntut secara perdata atau pidanan.
Namun dari fakta-fakta secara aspek yuridis atau persyarata formil ditemukan antara lain, pada laporan polisi diduga bukan tanda tangna pelapor dan mengunakan alamat kantor Iming kuasa hukuk pelapor dan bukan mengunakan alamat pelapor. Tidak membuat perencanaan penyelidikan / penyidikan sehingga penyidikan tidak berjalan secara maksimal. SPDP diterbitkan 8 bulan kemudian,sesuai melakukan pemeriksaan terhadap 15 saksi dan tersangka. AKP Supangkat menandatangani resume BAP sebagaipenyelidik pembantu dan tidak segera melakukan penyitaan phisik terhadap barang bukti dan baru dilakukan penyitaan setelah 20 bulan.
Sedangkan secara persyaratan materil lansung menahan tersangka Miko Suharianto,namun tidak segera menahan tersangka Dohar ojak hutabarat yang 9 bulan.lebih dahulu diposisikan sebagai tersangka. Menerima 5 unit barang bukti mesin dan menyerahkan ke Rupbasan hanya 4 unit,sedangnkan yang 1 unit diganti dengan barang lain uyang tidak termasuk barang bukti dan tidak dilengkapi mindik. Tidak melaksanakan petunjuk Jaksa untuk melakukan penyitaan barang bukti rekaman pembicaraan di Hotel Miko Presiden. Tidak melakukan penyitaan terhadap 3 unit truk. Tidak melaksanakan petunjuk Jaksa untukmelakukan Berita Acara Konfrontasi terhadap pelapor,tersangka Miko Suharianto dan saski Robert koromis untukmemperoleh pengakuan atau penjelasan peran serta tersangka.
Semantara dari aspek non yuridis diduga ada rekayasa yang dilakukan oleh penyelidik satuan I direktirat Reserse Kriminal Polda banten terkait dengan adanya surat affidavit Soehartini Wijaja. Dari hasil persoalan tersebut dapat ditari benang merah,bahwa diduga telah terjadi pelanggaran kode etik profesi Polri dan atau pelanggaran peraturan disiplin anggota Polri yang dilakukan oleh Kombes Pol drs Budiarto SH selaku Direktur Dit Reskrim lama, telah melanggar pasal 5 huruf b Perkap 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi Polri dan pasal 4 huruf d karena tidakmelaksanakan pengawasan dalam atau Wasdal dengan baik, menerbitkanspringas untuklidik namun tidak memantau hasil penyelidikan, menerbitkan SPDP 8 bulan kemudian setelah melakukan upaya paksa. Kombes Pol drs.H. agus Sutisna selaku Dir Ditreskrim baru telah melanggar pasal 5 huruf b Perkap 7 tahun 2006 tenntang kode etik profesi Polri karena tidak melaksanakan Wasdal dengan baik.
Sedangkan AKBP Drs. Henri P.S.MM sebagai Wadir ditreskrim telah melanggar pasal 5 huruf b Perkap 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi Polri dan atau pasal 4 huruf d peraturan pemerintah No.2 tahun 2003 Perturan Disiplin anggota Polri, karena tidak melaksanakan Wasdal dengan baik,tidak mengendalikan pelaksanaan penyidikan dan administrasi penyidikan dengan baik,pilih kasih dalam hal melakukan penahanan tersangka.
Sedangkan AKP Supangkat,SH selaku Panit I Sat I telah melanggar pasal 5 huruf b Perkap 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi Polri karena tidak melakukan penyidikan dengan baikdan melengkapi administrasi penyidikan yang benar, menanadatangani BAP sebagai penyidik pembantu,pilih kasih dalam melakukan penahanan tersangka, adanya rekayasa dalam penyidikan.Terungkapnya adanya duga tentang pelanggaran tentang kode etik Kepolisian yang dilakukan pejabat Polda Banten berdasarkan nota dinas No.Pol: R/ND--/X/2009/ Pusbinprof Peraturan Kapolri No. Pol : 7 Tahun 2006, Kep Kapolri No Pol : Kep/97/XII/2003 tanggal 31 Desember 2003 dan Surat Perintah Kapolri No Pol : Sprin /702/V/2009/Divpropam tanggal 7 Mei 2009.
Pemulihan hak terdakwa
Sementara dalam putusan perkara nomor 192/Pid.B/2009/PN. RKB atas nama terdakwa Miko Suharianto Bin Chandra Suharianto yang dibaca AP. Bayuaji,SH,MH sebagai Hakim ketua dan didampingi Wiyono,SH, dan Sri Ari Astutti,SH selaku Hakim Anggota di bantu panitera pengganti Abdurahman Siatan di Pengadilan Negeri Rangkasbitung,Jl. RA. Kartini No. 55 Kabupaten Lebak Provinsi Banten mengadili: Pertama, menyatakan terdakwa Miko Suharianto Bin Chandra Suharianto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan dalam dakwaa pertama,kedua,ketiga dan keempat. Dua, membebaskan terdakwa oleh krena itu dari semua dakwaaan tersebut (Vrijpraak). Ketiga, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan haekat serta martabatnya, dan keempat, membebankan biaya perkara kepada Negara.
Namun dalam fakta secara yuridis, bahwa terdakwa tidak terpenuhi melanggar pasal 363 ayat 1 ke-4 jo pasal 64 ayat 1 KUHP, melanggar pasal 372 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP, melanggar pasal 480 ke-1 jo pasal 55 ayat 1 ke-jo pasal 64 ayat KUHP dan melanggar pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Rangsbitung. pol