Cari Blog Ini

Senin, 08 Februari 2010

Ngemplak Tradisional,Jeritan Menyayat Dari Para PKL

Tak bisa dipungkiri, seiring kemajuan jaman yang kian canggih, menuntut masyarakat untuk selalu berinovasi dan kreatif. Meski terkadang untuk mewujudkan hal itu – terpaksa – harus ‘mengorbankan’ kawula alit (sebutan yang lazim dialamatkan kepada masyarakat kalangan bawah, Red). Tapi, benarkah mereka dikorbankan demi kemajuan pembangunan?
Masyarakat ‘kecil’ menjadi korban kemajuan suatu pembangunan, seolah bagai nada-nada simphoni yang selalu terdengar mengasyikkan. Tetapi, bisa jadi keasyikan itu hanya bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang berkompeten. Sementara itu, di pihak lain, alunan nada simphoni itu terasa sumbang dan akan terus sumbang, sampai kapan pun!
Seperti halnya nasib para pedagang kaki lima (PKL) di Tulungagung – khususnya yang mangkal di alun-alun lalu dipindahkan ke Ngemplak Tradisional Pujasera. Sebelum dipindahkan, mereka memang berjualan di seputaran alun-alun. Awalnya jumlah mereka memang hanya beberapa orang. Namun seiring merangkaknya sang waktu, dan berdagang di alun-alun semakin menjanjikan, maka jumlah pedagang pun semakin membludak.
Tak kurang 200-an pedagang, setiap hari memadati kawasan alun-alun dan sekitarnya. Bahkan, dari hasil pengamatan JAGRATARA, pedagang makin meluber. Jumlah itu akan semakin menggila jika Sabtu malam Minggu. Demikian juga masyarakat yang ingin makan, minum atau bahkan sekadar jalan-jalan. Pedagang pun makin beragam. Jika awalnya hanya pedagang makanan minuman dan mainan anak-anak, kala itu semakin variatif. Misalnya, sarung bantal guling, ikat pinggang, kacamata, atau bahkan obat-obatan sejenis racun tikus atau serangga lainnya.
Makin beragamnya jenis dagangan, makin membludaknya para pedagang, tentu membawa konsekuensi tersendiri. Setidaknya, kemacetan jalan di seputaran alun-alun tak lagi terelakkan. Dampak yang lain, keluarga yang ingin menikmati pemandangan pertamanan di sekitar alun-alun pun tak senyaman kala belum ada pedagang.
Alun-alun Tulungagung yang terus bersolek bak remaja yang merangkak dewasa, pertamanannya pun semakin dipercantik. Rimbunnya pepohonan menambah keasrian alun-alun yang sekaligus berfungsi sebagai paru-paru kota. Taman Kusuma Wicitra, demikian nama yang diberikan pada alun-alun Tulungagung itu.
Seperti halnya daerah lain, alun-alun selain berfungsi sebagai paru-paru kota, juga sekaligus untuk rekreasi meski hanya sekadar jalan santai. Bahkan, ada beberapa daerah yang masih memanfaatkan alun-alun sebagai lokasi untuk upacara. Karena beragam fungsi itulah, tak heran jika Pemkab setempat berupaya untuk memelihara dan mempercantik. Dana ratusan juta seolah sah-sah saja digunakan untuk memake-up alun-alun. Demikian juga yang dilakukan Pemkab Tulungagung.
Selain dilengkapi dengan tugu Pancasila yang menjulang tinggi, tebaran lampu tamannya pun semakin menambah keasrian. Untuk melengkapi keasriannya, Bupati Tulungagung, Ir. Heru Tjahjono, MM memberinya sangkar burung berukuran lumayan besar dengan aneka jenis burung. Kicau burung yang saling bersahutan, seolah ikut menikmati keasrian Taman Kusuma Wicitra.

GULUNG TIKAR
Sang waktu terus bergulir, sementara itu, para pedagang yang mangkal di alun-alun pun semakin bertambah. Bahkan, sumber JAGRATARA di Satpol PP dan kalangan dewan menilai, jumlah PKL semakin tak terkendali. Harus diakui memang, berdagang di alun-alun lebih menjanjikan. Keuntungan yang mereka raup bisa mencapai ratusan ribu dalam semalam.
“Paling sepi saya dapat Rp 50 ribu dan jam sebelas sudah tutup,” ujar Siti, pedagang nasi pecel. Keuntungan bersih 50 ribu, tentu jumlah yang lumayan besar untuk pola kehidupan di Tulungagung. Namun sejak PKL dipindahkan ke Ngemplak Tradisional Pujasera, arah barat kota, justru hal itu bagai mencekik leher Siti. Hal senada juga dibenarkan oleh Emma Satriya.
Emma mengatakan, awalnya ia memang mencoba mengikuti aturan main Pemkab meski hal itu dilakukannya dengan terpaksa. Tetapi realitanya, di tempatnya yang baru itu, nyaris ia tak mendapatkan in come. Bahkan setiap hari ia harus merugi dan dengan terpaksa menarik uang tabungannya yang kian menipis.
Tak bisa dipungkiri memang, sejak para PKL dipindahkan ke Ngemplak Tradisional Pujasera (siang digunakan terminal Angkot, Red), jerit menyayat hati mereka seolah saling bersahutan. Pembeli yang menurun drastis, otomatis memangkas keuntungan mereka. Sebagian besar bahkan terpaksa mengambil tabungan uangnya untuk bertahap agar usahanya tak sampai tutup. Tetapi, sampai kapan hal itu akan bertahan?
“Akhirnya saya tutup Mas…” ujar Siti yang dibenarkan Emma yang pada akhirnya juga tak lagi berjualan. Siti, Emma dan sebagian besar PKL memang banyak yang menutup usahanya. Sebelum memutuskan menutup usahanya, keduanya memang pernah mencari alternatif dengan berjualan di tempat lain. Tetapi karena tak juga menjanjikan, pelahan namun pasti modal mereka pun terkikis habis hingga akhirnya gulung tikar.
Sementara itu, Yanto (21), pedagang wedang ronde, secara terpisah menuturkan, sejak dipindah di Ngemplak, pendapatannya menurun sangat drastis. Jika awalnya di alun-alun dalam semalam ia bisa memperoleh sedikitnya Rp 75 ribu, kini untuk mendapatkan Rp 10 ribu saja sulitnya setengah mati. Ia merasa, sebagai orang “kecil” benar-benar tak berdaya ketika dihadapkan dalam kondisi simalakama. Bayangkan. Jika tidak berjualan, ia harus kerja apa, sementara ijazah sekolahnya pun tak bisa dibanggakan. Kalau pun toh harus berjualan, sampai kapan ia bertahan dalam kondisi keterpurukan?
“Tapi yang pasti, nggak mungkin saya kuat berjualan kalau kondisinya seperti ini,” tuturnya pelan, seolah menyiratkan betapa beratnya kehidupan yang harus dititinya. Jika kelak ia harus menutup usahanya, alternatif yang dipilihnya adalah bekerja sebagai kuli bangunan. Semua itu terpaksa dijalaninya mengingat pendidikannya yang tak pernah bisa dibanggakan.

UPACARA
Sekadar diketahui, Ngemplak Tradisional Pujasera, sejak awal pembangunannya memang diperuntukkan terminal Angkot. Pembangunan terminal yang menempati lahan seluas 2 hektar itu dilakukan pada 1998 silam dan pengerjaannya dilakukan oleh CV Surontani. Lokasinya yang di barat kota, memang strategis jika digunakan untuk terminal Angkot. Bersebelahan dengan terminal, telah pula dibangun pasar buah, sehingga semakin melengkapi kebutuhan masyarakat.
Secara terpisah, Ketua GAPEKNAS (Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional Indonesia), Ramelan, diminta tanggapannya soal gejolak PKL di Ngemplak Tradisional Pujasera menuturkan, ia kurang sependapat jika para PKL dipindahkan ke sana. Ia bisa memaklumi jika banyak PKL yang pada akhirnya gulung tikar. Apa pasal?
Menurut Ramelan, yang juga Dirut Surontani dan seorang tokoh yang cukup disegani di Tulungagung ini, ada beberapa alasan mendasar yang pada akhirnya membuat para PKL menutup usahanya. Selain lokasinya kurang nyaman untuk pembeli, hal itu juga dirasakan oleh pedagangnya sendiri. Meski kabarnya Pemkab menyediakan tenda, namun jika lahan antara satu pedagang dengan pedagang yang lain saling berhimpitan, jalan pemisah terlampau sempit, jelas hal itu tak membuat rasa nyaman siapa pun.
“Orang jalan berpapasan saja sulit, bagaimana bisa nyaman,…” tutur Ramelan sambil menambahkan, jika memang di Ngemplak kehidupan PKL merasa kembang kempis dan sebagian besar tutup, ia punya uneg-uneg atau alternatif - yang barangkali bisa diterima oleh Bupati Ir Heru Tjahjono, MM. Seyogyanya, kata Ramelan, para PKL diberi alternatif pindah di Jalan Achmad Yani Barat, Jalan DR Sutomo, Jalan Pangeran Antasari (Stasiun KA ke utara – OTB), Jalan RSU Lama ke barat atau di Pasar Hewan Beji.
Pemikiran Ramelan tersebut bisa jadi mengacu pada keberadaan Pusat Jajan Kya Kya di Surabaya yang menempati sepanjang Jalan Kembang Jepun. Sama dengan di Kya Kya Surabaya, para PKL di Tulungagung pun diperbolehkan membuka usahanya setelah menunggu toko tutup, yaitu sekitar jam 20.30-an hingga pagi.
“Saya ndak bisa memastikan, PKL di Ngemplak itu bisa bertahan sampai kapan,” ujar bos Surontani yang tengah mempersiapkan pembangunan kawasan perumahan ini. Ditanya soal alun-alun yang pada awalnya dimanfaatkan untuk upacara, Ramelan mengatakan, ia lebih setuju dikembalikan fungsi awalnya. Sebab menurutnya, jika alun-alun digunakan untuk upacara, hal itu sekaligus akan menjaga kewibawaan bupati dan anggota dewan. Lokasi alun-alun yang lurus dan tepat di depan pendapa kabupaten, dan juga di depan kantor DPRD, memang semakin menambah kewibawaan aparat pemerintahan daerah.
Tetapi, begitulah kenyataannya. Lantaran dinilai para PKL kurang bisa mengatur kebersihan dengan membuang sisa kotoran dan air comberan di saluran air di seputaran alun-alun, tak urung hal itu menebarkan bau yang kurang sedap. Sehingga, ketika masyarakat ingin memanfaatkan alun-alun untuk jalan sehat pagi, tak lagi merasa nyaman. Tebaran bau menyengat, yang pasti sangat mengganggu. Bahkan, pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan dari tebaran bau tak sedap itu akan mengundang jenis penyakit tertentu.
Meski hingga berita ini naik cetak, aksi unjuk rasa PKL di kantor Pemkab atau gedung dewan setempat sering mewarnai kehidupan di Tulungagung, namun toh Pemkab tak jua merubah keputusannya. Memang, sejak PKL dipindahkan, alun-alun Tulungagung seolah kembali sumringah, kembali bersolek dengan mengganti dan mempercantik pagar dan pembenahan lain. Tetapi, di sisi yang lain, jika malam mulai merayap, PSK liar pun ternyata memanfaatkan alun-alun untuk kencan sesaat. Sementara itu, jerit menyayat para PKL di Ngemplak pun seolah bersahutan. Sampai kapan hal itu akan terus berlangsung? Allahualam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELAMAT BERGABUNG.