Cari Blog Ini

Jumat, 12 Februari 2010

Ditjen Pajak Ungkap Penunggak pajak


Direktorat Jenderak Pajak (Ditjen Pajak) menyaring penunggak pajak dari 100 menjadi 10 perusahaan. Penyaringan dilakukan setelah adanya permintaan Komisi XI DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ditjen Pajak, Kamis. Sejumlah nama yang ternyata telah menyelesaikan kewajiban pajaknya telah dihapus.
Sepuluh perusahaan yang dimaksud adalah; PT Pertamina (Persero) dengan status Surat Paksa, Karaha Bodas Company LLC dengan status Penyanderaan, Industri Pulp Lestari dengan status Blokir Rekening, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan status Surat Paksa, Kalimanis Plywood Industries dengan status Penyitaan, Bakrie Investindo dengan status Surat Paksa, Bentala Kartika Abadi dengan status Surat Paksa, Daya Guna Samudra dengan status Pelelangan, Kaltim Prima Coal dengan status Surat Paksa, dan Merpati Nusantara Airlines dengan status Surat Paksa.
“Terhadap 10 penunggak pajak terbesar telah dilakukan tindakan penagihan mulai dari surat teguran, surat paksa, penyitaan, pemblokiran, pencegahan bahkan penyanderaan,” tegas Direktorat Jenderal Pajak M. Tjipatrdjo menjawab pertanyaan Komisi XI.
Sekadar mengingatkan, sebelumnya Ditjen Pajak merilis daftar 100 perusahaan penunggak pajak. Dari jumlah itu, 12 di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dua belas BUMN yang disebutkan dalam daftar Ditjen Pajak adalah, PT Pertamina (Persero), PT Angkasa Pura II (Persero), TVRI, PT BNI Tbk, PT Garuda Indonesia (Persero), PT Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, PT KAI (Persero), Pertamina Unit Pembekalan, PT Jamsostek (Persero), PT Perusahaan Perkebunan, dan LKBN Antara.
Namun, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Kamis (4/2), Pertamina keberatan dituding sebagai satu dari 10 penunggak terbesar seperti yang diungkapkan Ditjen Pajak. Malah, Pertamina mengaku mempunyai kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp13,5 triliun. ”Tunggakan dan sengketa defisinisinya beda. Kami masih sengketa di Mahkamah Agung (MA) akan bayar kalau ada keputusan tetap. Namun, kelebihan bayar kami sampai 2008 mencapai Rp13,5 triliun,” ujar Direktur Keuangan Pertamina Ferederick Siahaan.
Menurutnya, tunggakan yang dimaksud oleh Ditjen Pajak adalah soal PPN (Pajak Pertambahan Nilai) retensi tahun 2002, di mana saat itu Pertamina belum berstatus sebagai Perseroan Terbuka (PT). Selain itu, ada sengketa pembayaran pajak lainnya antara Pertamina dengan pihak Ditjen Pajak. Seperti sengketa pembayaran PPh (Pajak Penghasilan) Badan tahun 2003 sampai 2005. Soal ini, Pertamina berpendapat kalau mereka kelebihan bayar pajak, sementara Ditjen Pajak berpendapat Pertamina memiliki kekurangan pembayaran pajak.
"Sekarang sedang proses di Pengadilan Pajak. Untuk 2005 kita lebih bayarnya Rp1,9 triliun, sementara Ditjen Pajak mengklaim kita kurang bayar Rp1,8 triliun,” urai Ferederick. Ia melanjutkan, tahun 2004, Pertamina kelebihan Rp400 miliar, sedang Ditjen Pajak menghitung Pertamina kurang Rp1,1 triliun. “Lalu tahun 2003 kami lebih bayar Rp360 miliar, namun Ditjen Pajak bilang kita kurang bayar Rp40 miliar,” tambahnya.
Bantahan juga datang dari Kementerian BUMN. Sekretaris Menneg BUMN Said Didu mengingatkan agar Ditjen Pajak berhati-hati dalam mengumumkan daftar pengunggak pajak. Menurutnya, hal itu untuk menghindari kerugian bisnis perusahaan.
Dikatakan Said, masuknya mereka dalam daftar penunggak pajak otomatis mengundang penilaian negatif dari investor bahwa tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) tersebut buruk. “Bayangkan, satu persen saja resiko bisnis Pertamina meningkat berarti sekitar Rp3,8 triliun potensi bisnisnya hilang,” tandasnya.

Utang Ke ‘Saudara’
Kendati membantah perhitungan Ditjen Pajak, Pertamina mengaku masih memiliki sejumlah piutang ke BUMN lain dan pemerintah yang totalnya mencapai Rp25,07 triliun. Piutang tersebut antara lain ke PLN, TNI, Departemen Keuangan, Garuda dan Merpati. Untuk piutang ke PLN dalam rangka pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) tersisa Rp8,3 triliun per 31 Desember 2009. Angka ini turun jauh dibandingkan utang PLN ke Pertamina yang sempat mencapai Rp44 triliun.
Sedangkan untuk tahun ini, TNI diperkirakan akan memiliki utang yang paling besar kepada Pertamina. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan anggaran TNI di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). “Utang TNI sendiri hingga 31 Desember tercatat Rp6,2 triliun,” kata Ferederick Siahaan.
Selain PLN dan TNI, pihak-pihak lain yang masih memiliki utang kepada Pertamina yaitu Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM sebesar Rp4,4 triliun untuk paket program konversi minyak tanah ke elpiji 3 Kilogram (Kg). Sementara untuk Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan memiliki utang sebesar Rp3,27 triliun untuk subsidi dan refill elpiji 3 Kg tahun 2009.
Sementara untuk Garuda saat ini masih memiliki utang sebesar Rp541 miliar. Angka tersebut merupakan sisa utang Garuda setelah direstrukturisasi hampir Rp800 miliar menjadi surat utang jangka panjang selama 7 tahun dan sudah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) masih memiliki utang sebesar Rp1,99 triliun dan Merpati masih tersisa utang sebesar Rp8 miliar.