Cari Blog Ini

Senin, 08 Februari 2010

PERJUANGAN POLRI TAK PERNAH LEKANG

Pekik heroik “Arek-arek Surabaya” kala mempertahankan sejengkal tanah dan menolak kehadiran penjajah, hingga kini masih melekat erat. Kala itu, tak hanya rakyat biasa yang ikut berjuang menumpas penjajah. Tetapi, ribuan TNI dan Polri (Polisi Republik Indonesia) pun
berbaur ikut merebut kemerdekaan...
Jika di antara pembaca JAGRATARA ada yang berusia minimal 50 tahun, pasti ingatannya akan perjuangan merebut Bumi Nusantara dari tangan penjajah tak bisa begitu saja hilang. Bahkan, durasi rekaman dalam file romantika kehidupannya tak kan mudah terhapuskan. Masa-masa penjajahan, memang terasa getir. Hidup dan mati seolah berada di ujung tanduk.
Jerit menyayat jutaan rakyat yang kelaparan, seolah sulit digambarkan dengan rangkaian kata. Ironisnya, hal itu tak hanya dialami oleh segelintir rakyat di suatu tempat saja. Tetapi, jeritan itu juga dialami dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali! Kabar kematian akibat ulah kejam penjajah, nyaris saban hari terngiang di telinga. Tentu saja itu belum termasuk mereka yang mati kelaparan dan disiksa dalam kerja rodi.
Hal itu seperti yang diungkapkan Soekarni (78 tahun) dan Mat Bakri (75 tahun). Keduanya adalah mantan pejuang yang kala itu ikut berperan aktif menumpas antek-antek Belanda. Soekarni yang kini hidup tenteram bersama istri tercintanya, Amirah (72), di pelosok Dusun Maron, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, sekitar 7 km selatan kota Kabupaten Tulungagung menceritakan masa-masa penjajahan Jepang.
Kala itu, ia bersama seorang teman akrabnya yang kini sudah almarhum, Djliteng Soenjoto (terakhir mantan Bupati Pasuruan, red), bersama warga masyarakat yang lain ikut bergerilya mencegat Jepang yang tengah berpatroli di jalan-jalan desa. Bersama sekitar 40-an orang, Soekarni dan Djliteng seolah menjadi panutan yang lain.
“Itu karena saya dan Djliteng dianggap kendel (Bhs Jawa = berani, red) dan selalu berada di depan,” ungkap Soekarni yang memiliki 22 cucu dari ke 7 anaknya. Pada masa itu, masih menurut Soekarni, antara tentara, polisi dan rakyat biasa, seolah tak ada perbedaan. Lantaran merasa senasib sepenanggungan akibat ulah penjajah, sehingga sejuta asa yang mengkristal dalam dada dimuntahkan bersama-sama.
Perjuangan Soekarni, kala itu dilakukannya di daerah Blitar Selatan dan sekitarnya. Meski kala itu kedua orangtuanya berat jika Soekarni masuk polisi, namun karena tekad bulatnya, akhirnya kedua orangtuanya tak lagi mampu mencegahnya. Setiap kali akan berangkat ke medan laga, Soekarni selalu terlebih dulu minta restu.
“Atine wong tuwa sakjane ya was-was,” ujar Soekarni dengan Bahasa Jawa yang medhok, yang artinya,”Hatinya orangtua sebenarnya ya was-was”. Begitulah, meski was-was toh akhirnya mereka melepas juga kepergian Soekarni dengan iringan doa dan tetesan air mata.
Singkat cerita, setelah kaum penjajah hengkang dari Indonesia, Soekarni pun mengambil sikap yang cukup mengejutkan, yaitu keluar dari kepolisian dan berkat jasa temannya ia memilih menjadi guru. Keputusan yang diambilnya tersebut tak lepas dari permintaan kedua orangtuanya. Sejak kemerdekaan diraih bangsa Indonesia, pelahan namun pasti, karir Soekarni sebagai guru pun cukup membanggakan. Bahkan, pada akhirnya ia bisa menduduki jabatan sebagai Kepala SD di daerah Tulungagung Selatan.
Soekarni mengaku, di masa-masa tuanya, ia cukup lega melihat ke 7 anak-anaknya telah mentas (berhasil, red) dan bahkan telah memberinya 22 cucu. Jika di antara anak dan cucunya kini ada yang menjadi anggota Polisi, rasanya juga tak aneh. Bukankah “kacang nurun lanjaran?” Peribahasa Jawa yang kurang lebih memiliki arti : Apa yang dilakukan seorang ayah, si anak pasti akan mencontohnya…
Ia kurang sependapat jika ada sementara pihak yang mengatakan, pada masa penjajahan itu, hanya tentara dan rakyat biasa saja yang berjuang dan melawan serta mengusir penjajah dari Bumi Nusantara. Polisi Republik Indonesia (Polri) pun, pada masa itu juga ikut berperan aktif dalam menumpas penjajah dari muka bumi Nusantara.

LUMURAN DARAH DI JEMBATAN
Hal senada juga dikatakan oleh Mat Bakri, yang kala seputar tahun 1940-1941, aktif berjuang bersama arek-arek Surabaya yang lain. Pada masa itu, dengan membawa sebuah pistol hasil rampasan dari antek Belanda, ia bersama pejuang yang lain ikut menggempur lawan di sepuitar Jembatan Merah, Surabaya.
Dengan mimik serius digambarkan, kala terjadi peperangan di Jembatan Merah Surabaya, sudah tak terhitung pejuang Indonesia yang gugur di medan laga. Tak hanya rakyat biasa saja yang menjadi korban demi memperjuangkan nasibnya. Tetapi, dari barisan tentara dan polisi pun juga ada.
“Wah, kalau ditanya soal berapa yang meninggal saya ndak tahu Mas,” ujar Mat Bakri. Tetapi yang pasti, dari para pejuang, baik rakyat biasa, tentara dan polisi, banyak yang gugur mempertahankan Tanah Air Indonesia. Peperangan yang terjadi di Jembatan Merah, terjadi siang malam, tanpa mengenal lelah. Begitu pejuang Indonesia berhasil mendesak mundur para penjajah yang bercokol di seputar Jembatan Merah, rakyat terus mendesak para penjajah di seputaran Jalan Pahlawan kini. Karena banyaknya pejuang yang gugur dan darah mereka membasahi jembatan lokasi perang, akhirnya lokasi tersebut dinamakan Jembatan Merah.
Sebuah gedung bertingkat di Jalan Pahlwan, kala itu tahun 1940-an memang dijadikan markas penjajah. Setelah melalui peperangan yang sengit, pada akhirnya bendera penjajah yang berkibar di gedung itu pun berhasil dirobek, diiturunkan dan dibakar. Hampir bersamaan waktunya, di Hotel Majapahit kini, arek-arek Surabaya pun ternyata juga telah berhasil menurunkan bendera penjajah.
“Teman-teman saya sesama polisi juga banyak yang gugur,” cerita Mat Bakri dengan intonasi suara yang agak pelo lantaran usia yang kian uzur. Tak jarang, katanya lebih lanjut, jika secara tak sengaja bertemu dengan teman polisi sesama pejuang, mereka suka lupa menyebut namanya. Namun, tak lama berselang mereka akan terkekeh kala mengingat sebutan namanya di medan laga. Pernah reuni? Pertanyaan ini hanya dijawabnya dengan senyum kecut. Pasalnya, kini biaya hidup yang dirasakan semakin sulit, memaksa mereka tak lagi berpikir untuk mengadakan sekadar reuni kangen-kangenan.

MONUMEN POLRI
Tepat 1 Juli 2005 lalu, jajaran Kepolisian RI telah berusia 59 tahun. Selama kurun waktu lebih dari setengah abad itu, pelbagai cibiran dan pandang mata sinis sering ditampakkan terhadap sosok polisi, seiring kemajuan jaman. Namun, bukan polisi profesional jika tak mampu mengambil sikap bijak kala menyikapi hal itu. Semua diterimanya dengan lapang dada dan senyum bijak.
Khususnya di Surabaya, untuk mengenang perjuangan Polri di masa-masa penjajahan, telah dibangun sebuah Monumen Perjuangan Polri. Monumen yang terletak tepat di pinggir jalan seputaran perempatan Jalan Raya Darmo Surabaya itu, seolah mengingatkan kita semua. Bahwa, perjuangan Polri dalam mempertahankan NKRI, tak hanya sekarang saja. Tetapi, jauh sebelum kemerdekaan berhasil digenggam rakyat Indonesia, perjuangan mereka tak perlu diragukan lagi.
“Setiap memperingati HUT Bhayangkara, monumen itu dibersihkan dan dicat ulang,” ujar seorang pamen di Polda Jatim. Meski ia mengaku tak ikut berjuang kala merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, namun ia merasa bangga karena almarhum ayahnya kala itu ikut aktif berjuang di garis depan. Karenanya, untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, kini ia menjadi seorang anggota Polisi.
Cerita seputar almarhum ayahnya kala di masa perjuangan, hanya ia dengar dari sang ibunda. Menurut ibundanya, kala itu ayahnya aktif berjuang bersama anggota polisi yang lain di Hotel Majapahit sekarang (kini Jalan Tunjungan, red) Surabaya. Kala itu, masih menurut cerita ibundanya, Hotel Majapahit dijadikan markas penjajah. Seingat ibundanya yang kini berusia 74 tahun, nama tempat itu adalah Yamato.
Di tempat itu pulalah bendera Jepang berhasil diturunkan, dirobek dan dibakar oleh arek-arek Surabaya. Api yang berkobar disertai yel-yel kemenangan, menggambarkan semangat juang yang tak pernah padam. Dan setiap memperingati Hari Kemerdekaan RI, di lokasi-lokasi sarat sejarah, terutama di Jalan Pahlawan dan di Hotel Majaphit, selalu digelar episode perjuangan arek-arek Surabaya.
Melibatkan lebih dari 1000 orang, ada yang dari seniman, tukang becak, warga biasa dan lain-lain, adegan itu cukup mewakili betapa arek-arek Surabaya tak kenal kata takut dan menyerah. Bisa jadi, prinsip hidup mereka adalah : Sadumuk bathuk sanyari bumi sun belani pati. Sesanti Jawa itu mengandung makna : “Harga diri dan sejengkal bumi akan dibela sampai mati”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELAMAT BERGABUNG.