Siti Hardiyanti Rukmana agaknya tak bisa lepas dari kasus hukum. Setelah terlilit sengketa pemegang saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Mba Tutut dimohonkan pailit. Permohonan pailit itu datang dari Literati Capital Investment Limited. Perusahaan asal British Virgin Islands itu mendaftarkan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Senin (8/6).
Perkaranya teregister No. 06/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Kuasa hukum Literati, Andi F. Simangunsong menyatakan Mba Tutut berutang pada Literati sebesar Rp1,645 triliun pada Mba Tutut. Jumlah itu merupakan akumulasi utang pokok, denda dan biaya administrasi yang diitung per 30 September 2009. “Literati merupakan pemegang hak tagih terakhir atas piutang tersebut sehingga berkedudukan sebagai kreditur yang sah,” kata Andi Simangunsong di pengadilan. Utang itu bermula dari perjanjian kredit yang diteken PT Citra Industri Logam Mesin Persada bersama PT Bank Internasional Indonesia (BII) pada 17 November 1994.
Dari perjanjian itu, BII mengucurkan kredit sebesar Rp7,5 miliar buat PT Citra Industri. Dalam perjalanannya, perjanjian kredit itu beberapa kali diperpanjang dan diperbarui. Terakhir pada 16 Maret 2006. Penandatangan perjanjian kredit juga dibarengi dengan penandatanganan perjanjian garansi. Mba Tutut-lah yang berperan sebagai penjamin utang PT Citra Industri. Perjanjian garansi menentukan kewaiban yang dijamin Mba Tutut adalah utang dan kewajiban penjamin sendiri, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1316 KUHPerdata.
Dengan begitu, bank tidak diwajibkan merealisasikan perjanjian garansi terlebih dahulu, antara lain sebelum menagih pada debitur awal dan sebelum mengajukan permohonan penetapan pailit atau likuidasi terhadap PT Citra Industri. Selain itu, bank berhak langsung mengajukan menuntut penjamin melalui pengadilan. Bank juga bisa mengambil pelunasan dari jaminan lainnya yang dipegang bank sehubungan dengan kewajiban PT Citra Industri.
Penjamin, dalam perjanjian garansi, melepaskan hak atau upaya hukum terhadap PT Citra Industri dan hak-hak yang diberikan pada penjamin oleh KUHPerdata. Hak itu diatur dalam Pasal 1430, 1831, 1833, 1837, 1838, 1843, 1847, 1848, 1849, dan 1850. Enam tahun setelah perjanjian kredit, tepatnya 21 Juni 2000, BII mengalihkan hak tagih utang (cessie) PT Citra Industri ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada 3 Februari 2004, PT Berkah Karya Bersama mengambil alih hak tagih utang itu sesuai akta No. 03.
Selama hak tagih di tangan PT Berkah, utang PT Citra Industri belum dilunasi baik oleh PT Citra maupun penjaminnya. Meski demikian, hak tagih itu dialihkan lagi ke tangan Literati Capital pada 10 November 2009. Pengalihan itu dituangkan dalam perjanjian yang dilegalisasi di bawah No. 185/legalisasi/2009/diplo.
Berbekal perjanjian itulah Literarti mengajukan permohonan pailit terhadap Mba Tutut. Sebelum permohonan diajukan, Literati melalui kuasa hukumnya AFS Lawyers dua kali mengajukan surat tuntutan pembayaran (letter of demand) pada Mba Tutut. Yakni, pada 25 dan 29 Januari 2010. Namun Literati tak jua mendapatkan angin segar. Karena itu, Literati memilih jalur pailit. Dalam permohonan disebutkan bahwa Literati juga memiliki kreditur lain, yakni Ellistar Investment Limited. Mba Tutut berutang sebesar Rp1,047 triliun. Ellistar merupakan pemegang hak tagih atas utang PT Trihasra Sarana Jaya Purnama. Lagi-lagi, dalam perjanjian kredit dengan PT Bank Bumi Daya pada 28 Oktober 1987, Mba Tutut berperan sebagai penjamin.
Sebelumnya, Bank Bumi Daya (sekarang bergabung menjadi PT Bank Mandiri Tbk) mengalihkan hak tagih atas utang PT Triharsa ke BPPN pada 3 Februari 2004. Ketika itu, BII juga mengalihkan cessie ke PT Berkah. Pengalihan hak tagih dari PT Berkah ke Ellistar terjadi pada 16 November 2009. Berdasarkan fakta itu, kuasa hukum Literati menilai permohonan pailit telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. hol